Forum SMA 3 Bogor
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Forum SMA 3 Bogor

Forum Silaturahim barudax SMA 3 Bogor
 
HomeGallerySearchLatest imagesRegisterLog in

 

 Chapter 02 Drunken Mama

Go down 
AuthorMessage
ditta
Prajurit
Prajurit
ditta


Female
Number of posts : 26
Age : 38
Lokasi : bogor-jakarta
Job/hobbies : books
Registration date : 2008-09-25

Chapter 02 Drunken Mama Empty
PostSubject: Chapter 02 Drunken Mama   Chapter 02 Drunken Mama EmptyThu Sep 25, 2008 12:20 pm

hope you'll enjoy it from pidibaiq.multiply.com



Cerdas Cermat

Saya
sedang menikmati sebagai mahasiswa tingkat akhir saat itu. Saat ada
larangan dari pihak rektorat untuk tidak menyelenggarakan kegiatan
orientasi kampus dan segala kegiatan lain yang ada hubungan dengan itu.
Sebenarnya bagi saya yang tidak lama lagi akan lulus dan akan
meninggalkan kampus, seharusnya hal itu tidaklah perlu sama sekali saya
pikirkan. Toh saya sudah puas, sehingga malah bangga karena bisa pernah
mengalami hal-hal yang kemudian dilarang itu. Apa pengaruhnya bagi saya
ini yang beberapa bulan ke depan sudah tidak akan lagi menjadi
penghuninya. Mau dilarang atau tidak, saya seharusnya cuek, dan ayo
lebih baik fokus menyelesaikan tugas akhir.


Tetapi
sore itu, tahu 1997 (?) itu, saat aroma musim kemarau berhembus bersama
gugurnya daun-daun kering dari pohon tua di sepanjang jalan ganesha,
saya dan beberapa kawan saya berkumpul di lapang rumput yang ada di
depan kampus kami, untuk bergabung dengan mereka, yaitu adik-adik kelas
dari angkatan dua tingkat di bawah kami. Membicarakan rencana mereka
yang ingin menyambut mahasiswa baru tetapi terganjal oleh adanya
peraturan baru dari rektorat itu. Kita bisa menyelenggarakannya dengan
mengemasnya menjadi sekedar acara hiburan. Adakan saja tetapi jangan
sampai ada bentuk kegiatan yang bersifat menguji fisik, sebab justeru
macam hal itulah mengapa menyebabkan pelarangan itu dikeluarkan. Jangan
fisik, tapi mentalnya. Saya mengajukan ide supaya mahasiswa baru itu
disambut dengan bentuk acara cerdas cermat. Kita uji sejauh mana ilmu
pengetahuan mereka. Kita pertanyakan itu karena kita menyangsikan
kelulusan mereka sehingga mengapakah mereka bisa diterima di fakultas
senirupa dan desain ITB. Kita adu pengetahuan mereka dengan kakak kelas
mereka. Semua setuju. Tidak ada perdebatan. Maka segera disusunlah
rencana itu. Biar coba kami yang menjadi tim penanya, kalian yang jadi
panitia penyelenggaranya.
“Oke”
“Ya sudah kalau oke”






Acara
penyambutan pun terjadi, itu sore selepas waktu ashar. Saya duduk di
sebuah kursi bersama dua kawan saya yang sama duduk, di sebuah lapang
tengah yang dikelilingi oleh gedung Fakultas Senirupa dan Desain ITB.
Itu lapang tengah, kami mengenalnya atau kami menyebutnya sebagai
Lapang Merah karena lantainya disengaja dikasih cat merah. Di sana
saya dan dua kawan saya, yang dipilih sesuai kesepakatan pada waktu
meeting, duduk menghadapi dua kelompok besar yang akan saling bersaing
untuk meraih nilai sebanyak bisa. Satu kelompok di sebelah kiri adalah
mahasiswa baru. Satu kelompok lainnya di sebelah kanan, terdiri dari
mahasiswa senior dari segala angkatan. Sekeliling kami dijubeli oleh
mahasiswa yang inging menonton. Sebagian lainnya memilih menonton di
gedung lantai dua dan juga ada yang di lantai tiga. MC maju membawa mic
dan bicara ini itu untuk semacam permulaan menuju segera dimulainya
acara cerdas cermat.
“Hari ini”, saya memulai acara, itu setelah MC
mundur,”Sore ini, Sore yang kemarau ini. Sengaja kami kumpulkan kalian
di sini, untuk ikut dalam acara cerdas cermat. Ini acara untuk kami
bisa menguji sejauh manakah pengetahuan kalian sebagai mahasiswa baru.
Terus terang terpaksa kami adakan acara ini, karena kami sangat
meragukan kemampuan dan pengatahuan kalian. Bahkan curiga,
jangan-jangan kalian tembus masuk Senirupa ITB ini adalah karena
ternyata salah pilih. Atau mungkin cuma karena takdir saja. Atau karena
sebagai mahasiswa titipan semua. Atau tipuan semua. Bukan disebabkan
oleh semata-mata karena memang kalian berkualitas. Maka untuk itu,
perkenankankanlah kami yang gagah ini mengadakan cerdas cermat ini.
Kalian akan diadu pengetahuan dengan kakak-kaka senior kalian. Halo!”,
saya menyapa halo untuk kelompok kanan, kelompok rekan senior.
“Halooo!!!”, kelompok senior menjawab bersamaan.

“Kakak-kakak kalian yang sudah tidak perlu kami sangsikan lagi ilmu dan
pengetahuannya, karena kami semua sangat menyayangi mereka”. Hadirin
gemuruh.
“Karena ditakutkan akan ada badai, maka untuk itu acara ini akan saya mulai. Oke?”
“Okeeee!!!”. Hadirin berteriak kecuali mahasiswa baru yang saya lihat nampak duduk mengkerut.
“Pertanyaan pertama untuk mahasiswa baru, siap ya!!!”

“Siaaap!”, itu saya pake tanda serunya satu karena mereka menjawab
dengan suaranya yang seolah-olah mereka itu adalah kelinci terjebak
dalam kepungan hyna lapar. Mereka bahkan bilang siap bukan karena
benar-benar siap, melainkan karena memang mau tak mau harus bilang
begitu.
“Oke. Ini lembar pertanyaannya masih tersegel. Saksikanlah
kawan-kawan”, teriak saya seraya mengacungkan amplop kertas warna
cokelat dan menengadah ke lantai dua dan tiga
”Iyaaaa!!!”, gemuruh sekali suaranya.

“Pertanyaan pertama untuk mahasiswa baru. Simak: Kematian Lady diana
adalah merupakan momok yang paling menakutkan khususnya bagi para
selebritis dunia. Yang akan ditanyakan kepada kalian adalah, apa yang
dimaksud dengan momok?”. Hadirin gemuruh. Mahasiswa baru membisu,
menundukkan kepalanya untuk banyak alasan termasuk menghindari lemparan
kertas yang sudah diremas sebelumnya. Tidak ada satu orang pun dari
mereka yang menjawab. Hal itu bisa karena oleh banyak kemungkinan,
mungkin tahu jawabannya tapi takut mengatakannya, mungkin memang mereka
tidak tahu jawabannya dan sekaligus tetap takut.
“Bodoh!!! Bodoh!!!
Bodoh!!!” Hadirin berteriak begitu walau pun sesungguhnya jangan-jangan
mereka juga tidak tahu apa jawabannya. MC bicara mengingatkan untuk
melarang mereka melempari mahasiswa baru karena mungkin disuruh panitia
yang takut kena sanksi oleh rektorat. Saya juga takut.
“Jawabannya,
Silakan Jon Vey”, saya tunjuk kawan saya, kakak kelas satu tingkat di
atas saya, yang sudah memegang lembar kunci jawaban. (semoga dia
menjadi warga negara Belanda yang baik)
“Jawabannya: Yang dimaksud dengan momok adalah sesuatu yang menakutkan”, Jon membacakan jawabannya.
“Ha ha. Apa benar jawabannya itu?” Saya tanya dia.
“Oh, ini. Saya ulang. Jawabanya, yang dimaksud dengan momok yang paling menakutkan adalah kematian lady diana itu”

“Ha ha. Ya udah enggak apa-apa. Jawabannya itu,”saya kasih
komentar,”Terbukti sudah, kalian lemah. Pengetahuan kalian cetek, saya
tidak akan menyebut kalian bodoh karena saya rasa sudah diwakili oleh
kawan-kawan saya itu.
“Bodoh!!! Bodoh!!! Bodoh!!!” hadirin teriak lagi
“Kita coba kakak-kakak senior kalian. Untuk membuktikan bahwa mereka memang pantas masuk senirupa ITB. Siap senior?!!!”
“Siaaaaaaaapp!!!” Mereka berteriak dengan keadaannya yang sungguh penuh percaya diri.
“Pertanyaan untuk senior: Tepuk apakah, oke? Tolong jangan ribut dulu. Tepuk apakah yang sering dipake pramuka?”.

“Tepuk Pramukaaaaa!!!”. Mereka menjawab bersamaan sambil berdiri dengan
serentak dan mengacungkan setiap masing tangannya. Hadirin bergemuruh
dengan suara gemuruh yang indah.
“Betul. Betul itu Jon?”, saya tanya juri.
“Betul sekali. Sangat betul sekali”, Jon Vey menjawab.

“Dikasih nilai berapa? Kak Ojel?”, Saya tanya Ojel kawan saya, adik
kelas saya, yang ada berdiri di belakang kami, di dekat papan tulis,
karena dia di sana memang mendapat tugas untuk mencatat hasil perolehan
nilai.
“Satu trilyun!!!”, Ojel teriak sambil menuliskan angka satu trilyun. Ha ha. Hadirin kembali bergemuruh.
“Tadi mereka salah,”saya tunjuk mahasiswa baru.”dikurangi enggak?”
“Iya. Dikurangi dong. Dikurangi satu milyar”, Ojel menjawab.
“Ha ha!!!”, semua tertawa, Ojel dulu memang lucu dibanding sekarang.

“Sekarang pertanyaan buat mahasiswa baru lagi”, saya bersiap untuk
memberi mereka pertanyaan berikutnya,”Siap kaliaaaan?”, saya bertanya
sambil membungkukkan badan seperti laku orang sedang bicara sama anak
kecil.
“Siaap!”, mereka menjawab bersamaan, tetapi seandainya kamu ada di sana bersama kami, kamu akan bisa mendengar suara mereka sungguh bersumber dari keadaan mental dirinya yang lemah.

“Oke. Pertanyaan untuk mahasiswa baru, simak: Apakah kepanjangan?
Singkatan IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS?,”Tanya saya,”Boleh salah seorang dari
kalian menjawab kalau tahu”, perintah saya, menyebabkan ada berdiri
seorang dari merka, tangannya mengacung dan mencoba menjawab:”Ideologi,
Politik, Ekononomi. Sosial, Budaya, Pertahanan dan Kemananan Nasional”.
Suaranya begetar, meskipun dia berusaha untuk tidak.
“Salah!!!”, jawab saya langsung.

“Bodoh!!! Bodoh!! Bodoh!!!”, Hadirin berteriak kembali seolah-olah
mereka seperti suatu kaum yang sedang berkumpul dan berteriak: Salib!
Salib!
“Salah ya, Jon?”, tanya saya.
“Sangat salah sekali. Sesalah salahnya”
“Jawabannya, Joooon!!!”
“Jawabanya yang betul adalah: ya benar! Itu singkatan terlalu panjang!”.
“Itu jawabannya,”saya bilang begitu sama mahasiswa baru,”Gimana kalian ini. Payah”
“Gini, tadi pertanyaaannya kan apakah kepanjangaaaaan? Singkatan Ipoleksosbudhankamnas?, jawabannya iya. Bodooooooh!’ Jon kasih penjelasan tambahan.
“Bodoh, Bodoh” Ada satu dua kertas melayang mengenai mereka. Saya tidak tahu siapa yang masih tetap melempari, tetapi tidak apa-apalah.

“Saya dan kawan-kawan saya semakin yakin, atau semakin aneh kenapa kok
kalian bisa diterima di sini?” Saya mengeluh seolah-olah benar-benar
sedang mengeluh, ”Kalian lihat sendiri senior kalian! Mereka memang
pantas diterima di sini. Gagah, supel, keren dan berpengetahuan”
“Terimakasiiiiih!!!”, beberapa dari mereka berteriak.
“Kita tanya lagi mereka!”, lanjut saya,”Siap senior!!!?”
“Siaaaaaaappp!!!” suaranya mantap sekali.

“Pertanyaan untuk senior, untuk kawan-kawan saya tersayang. Bentar”,
saya pura-pura membuka lembar kertas berisi pertanyaan,”Kakak-kakak,
Ismail Marzuki, tahu Ismail marzuki?”
“Tahuuu”, jawab mereka.
“Ya. Bagus!!!”. Hadirin gemuruh. Saya lalu meminta Ojel untuk memberi senior, tambahan nilai.
“Nah. Ismail Marzuki punya taman di mana?”, itu pertanyaan masih untuk senior.

“Jakartaaaaaaa!!!”, mereka serentak menjawab sambil berdiri dengan
semangat, sambil agak sedikit meloncat, seolah-olah mereka sedang
saling berlomba agar bisa kelihatan paling pintar.
“Betul Jon Vey?”, saya tanya Jon.
“Ini sangat betul sekali. Jawaban yang tidak disangka-sangka. Menakjubkan!”
“Ha ha ha. Jadi berapa, Kak Ojel, nilai untuk senior?”
“Enggak cukup papan tulisnnya”, Ojel teriak.
“Berapa itu?” saya menghadap ke belakang untuk melihat nilai yang tertera di papan tulis

“500 trilyun 5 juta!!!”, Ojel menjawab dengan senang. Coba lihat angka
nolnya berjejer panjang sekali sampai muter ke bawah karena tidak
cukupnya.
“Ha ha. Banyak sekali!!!” kata saya. Hadirin tertawa, mungkin bangga karena kawan-kawannya dapat nilai sungguh banyak sekali.

“Giliran mahasiswa baru lagi. Mudah-mudahan yang ini kalian bisa jawab.
Kalian harus siap. Siap atau tidak siap harus siap,”Seru saya,”KUD
adalah singkatan dari Koperasi Unit Desa,” saya mulai membacakan
pertanyaan,”Yang akan ditanyakan, siapa ketua KUD Lampung?”.
“Ha
ha!!! Bodoh!!! Bodoh!!! Bodoh!!!” Hadirin teriak lagi. Kalem laaah. Itu
ada seseorang, seorang perempuan dari mahasiswa baru yang kelak
kemudian hari kami mengenalnya sebagai Tika, berdiri dia dan menjawab.
Dia menjawab dengan menyebut nama seseorang, saya lupa lagi siapa nama
orang yang dia sebut itu. Boleh jadi orang yang disebut Tika adalah
benar ketua KUD Lampung. Tapi..
“Salah!!!”, teriak
saya,”Kawan-kawan!!! Kalian tahu jawabannya yang betul?”, saya bertanya
khususnya kepada mereka yang kebanyakan pada nangkring di atas, di
lantai dua.
“Ha ha ha”, mereka malah tertawa,”Silakan!!! Terserah panitia jawabannya,” seseorang teriak.
“Ha ha. Oke. Inilah jawabannya yang betul. Silakan Jooooon!”
“Jawabannya: Ketua KUD Lampung adalah yang dipilih oleh anggota KUD Lampung!!”
“Ha ha ha”, Penonton gemuruh, tapi tidak ada teriak bodoh, bodoh.

“Kalian, sungguh, sangat mengecewakan kami. Kalian yang sangat kami
harapkan kelak menjadi generas kami yang memiliki kemampuan lebih
daripada kami, tetapi kenyataannya kalian sama sekali lemah dalam
pengetahuan,”Saya ceramah
“Bodoh. Bodoh, Bodoh!!!”
“Siksa!!! Ospek!!!” seseorang teriak di antara bunyi gemuruh itu.

“Bagaimana kita akan mengospek mereka, kawan-kawan!!!” kata saya
lagi,”Sedangkan untuk menerima mereka menjadi adik kita juga kita tidak
mau menerimanya!!!”
“Betuuuul!!!”, Mereka membetulkan apa yang saya katakan padahal itu saya asal ngomong.
“Kita hanya mau ngospek, sampai benar-benar bisa menerima mereka menjadi adik kita dulu!”
“Betuuul!!!”
“Jadi setuju ya tidak ada ospek?”
“Tidaaaaak!!!”

“Ye, He he gimana”, jawab saya. Lalu acara cerdas cermat pun
dilanjutkan kembali. Berlangsung sampai menjelang adzan magrib. Sampai
pohon-pohon tua itu terlihat sudah menjelma menjadi bentuk-bentuk
silhuet raksasa. Bagai mahluk yang menunduk untuk alangkah dahsyatnya
malam. Setelah itu kemudian mereka diperbolehkan pulang oleh panitia.
Pulang ke tempatnya masing-masing dengan membawa kenangan dan
komentarnya sendiri mengenai cerdas cermat yang mereka ikuti hari itu.
Bagi kami, setelah kejadian itu, terserah mereka mau bilang apa tentang
kami, tentang kami semua ini. Sama sekali hal itu tidak akan mengubah
prioritas kami untuk selalu menyemarakan dunia kampus, menjalankan
penghiburan untuk merefresh diri kami yang penat oleh aneka macam tugas
kuliah (dan administrasi). Untuk dengan itu kelak tumbuh jalin
pengertian dan insya Allah tumbuh juga cinta yang diduga bisa
menguatkan pondasi kekeluargaan. Komentar mereka tidak akan menyebabkan
kami lalu merasa bersalah karena mereka kecewa ternyata kami ini,
seniornya, adalah sangat bodohnya, karena bagi mereka kami ini adalah
mahasiswa tidak intelektual. Bisanya hanya menyelenggarakan hal-hal
yang lucu saja. Karena bagi mereka kami ini tak lebih hanya mahasiswa
yang cuma hura-hura, tidak kritis memikirkan hal-hal yang ilmiah untuk
lalu dipikir secara filosofis, sebagaimana harusnya seorang mahasiswa
menurut pemahaman mereka. Sehingga bagi mereka, ini sungguh-sungguh
tidak mahasiswaisme. Lebih rendah bahkan dibanding kualitas anak-anak
SMA. Terserah apa mereka mau bilang tentang kami, karena kami tidak ada
waktu untuk mendengarnya. Atau kalaupun kami bisa mendengarnya, tetapi
kami sudah besar sehingga bisa memilih suara manakah yang perlu kami
simpan dan suara manakah yang perlu kami anggap sebagai sampah, sebagai
sama sekali sampah belaka. Saya kira ada hal lain yang bisa kita ambil
selain dari melulu hanya makna. Saya ingin bilang lingkungan adalah
cermin siapa dirimu, maka jika kau lihat mengecewakan, engkau boleh
jadi sedang kecewa akan keadaan dirimu? Jika kau lihat busuk, karena
mungkin begitu diri--mu.

Bandung, September 2008
Back to top Go down
http://www.quoide9.multiply.com
 
Chapter 02 Drunken Mama
Back to top 
Page 1 of 1
 Similar topics
-
» Chapter 01 Drunken mama
» Syair Mama Abdullah bin Nuh

Permissions in this forum:You cannot reply to topics in this forum
Forum SMA 3 Bogor :: Hobi :: Buku & Sastra-
Jump to: