ditta Prajurit
Number of posts : 26 Age : 38 Lokasi : bogor-jakarta Job/hobbies : books Registration date : 2008-09-25
| Subject: Chapter 01 Drunken mama Thu Sep 25, 2008 12:16 pm | |
| Selamat menikmati
Alamat Kawan Fahmi itu bukan orang Bandung. Hari itu dia datang ke Bandung untuk bertemu dengan saya.Kalau ada orang yang bernama Fahmi tetapi dia orang Bandung, berarti jelas dia bukan Fahmi yang saya maksud. Kalau ada orang yang bernama Fahmi dan dia bukan orang Bandung? Belum tentu juga dia adalah Fahmi yang saya maksud. Karena Fahmi yang saya maksud selain dia bukan orang Bandung, dia adalah kawan lama saya. Kalau ada orang bernama Fahmi dan bukan orang Bandung dan dia adalah kawanmu? Belum tentu juga dia adalah Fahmi yang sedang saya ceritakan, karena bisa saja itu Fahmi yang lain, sedangkan Fahmi yang sedang saya ceritakan adalah Fahmi yang bukan orang Bandung, kawan saya dan yang saya ajak ke rumah siang itu. Kalau ada orang yang bernama Fahmi, bukan orang Bandung, kawan kamu dan sore itu dia kamu ajak main ke rumahmu? Iya, benar itu. Itu Fahmi yang saya maksud. Kok kamu tahu sih? Kalau ada orang yang bernama Fahmi, bukan orang Bandung, kawan saya dan sore itu saya ajak ke rumah saya, salam ya, karena itu adalah Fahmi yang sama sekali belum pernah singgah main ke rumah saya sebelumnya. Jadi ketika saya bawa Fahmi masuk ke komplek perumahan yang bukan komplek perumahaan saya, dia menyangka bahwa itu adalah komplek perumahan di mana saya beralamat. Padahal itu komplek perumahaan lain, letaknya beberapa kilometer dari komplek perumahaan tempat asli saya tinggal. Tentu saja saya tahu, tapi Fahmi pasti tidak. Saya berhenti di depan sebuah rumah dan menyuruh Fahmi turun untuk membuka pintu gerbang. Itulah saat di mana saya berharap di dalam rumah itu tidak ada anjing penjaganya. Fahmi turun dengan sangat percaya diri dan berusaha membuka slot pintu pagar itu. Saya lihat Fahmi mau mendorong itu pintu pagar ke arah dalam. “Fahmi!!! Naik lagi!!”, saya teriak dengan suara hanya supaya Fahmi saja yang dengar. Fahmi balik kembali ke kendaraan. “Kenapa?” “Naik lagi. Udah!! Itu bukan rumah saya”. “Ah. Kacau!!!” maki Fahmi yang lalu sudah lagi ada di dalam kendaraan. Ada sebentar tadi saya melihat seseorang keluar dari rumah itu. Seorang ibu yang sudah tua. Saya keluar dari komplek itu dengan Fahmi yang ketawa seraya memaki saya. Fahmi bilang untung tidak diteriaki rampok. Iya, Fahmi. Tapi enggak apa-apa, saya kenal semua pemuda di sana. Itu komplek tempat dulu saya main. Lagi rumah tadi itu adalah rumah bekas guru SMA saya. Akhirnya saya dan Fahmi masuk ke komplek perumahan yang itu adalah beneran komplek perumahan tempat saya tinggal. Dan, berhenti di sebuah rumah yang indah. Tentu saja saya tahu itu rumah saya, tapi Fahmi pasti tidak. “Tunggu, Mi. Bentar saya ada perlu dulu ke teman”, kata saya sambil turun dan masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah sedang ada si Odah, pembantu saya. Ada Timur yang menyambut saya dengan “asik ayah pulang”. Bebe sedang tidur siang katanya. Ada si Uci, keponakan saya, ada mang Iya juga, saudara saya yang sedang menemani Timur dan Uci main Monopoli. Saya pergi ke dapur untuk mengambil piring dan menyimpan nasi di atasnya. “Odah, sini!”,sambil menuangkan air di gelas saya panggil Odah yang lagi baca buku apa di bawah tangga. “Apa, Yah?” “Ini kasihin ke orang itu ya” “Siapa, Yah?” “Kawan si Ayah. Udah kasihin aja” “Di luar?” “Iya” jawab saya. “Ini nasi doang?” “Enggak apa-apa”, jawab saya. Si Odah lalu pergi mau ke sana. “Dah, Dah, bentar..!!!”, saya panggil lagi dia menyebabkan dia kembali dan ingin tahu hal apakah yang menyebabkan saya memanggil dia lagi. “Jangan bilang ini rumah si Ayah! Kalau tanya si ayah, bilang ada, lagi ngobrol!” “Iya”. Si Odah pergi ke sana ke tempat Fahmi yang sedang menunggu saya di kendaraan. Saya mengintip dari balik jendela. Timur kalau sedang asyik begitu biasanya cuek dengan gerak-gerik ayahnya ini. Dengan mengintip dari balik jendela rumah, saya bisa melihat si Odah memberikan sepiring nasi dan segelas air minum. Saya lihat Fahmi kaget mendapati itu dan menolaknya, karena memang tadi sudah makan sama saya di Dago sebelum semua ini terjadi. Si Odah kembali masuk dengan membawa sepiring nasi dan segalas air minum itu. “Enggak katanya, Yah!” “Ya udah simpen aja”, “Nanyain, Ayah!” “Iya” kata saya sambil pergi ke ruang mushola untuk ambil mukena dan mengenakannya di ruang tamu karena berharap Timur tidak tahu, dan lekas keluar rumah dengan menutup mulut saya oleh bagian sisi dari kain mukena itu. Dan berdiri di sisi pagar sebelah taman, itu agak berhadapan dengan kendaraan yang menyimpan Fahmi di dalamnya. “Fahmi yaaaa?”, tanya saya dengan berusaha bisa bersuara wanita meskipun agak susah. “Eh. Iya, Bu?”, Fahmi kaget ditanya ibu-ibu yang aneh bisa mengenalnya. “Masuk aja?” “Iya. Iya. Makasih” “Itu kata Buya Pidi masuk katanya” “Oh. Iya”, Fahmi turun dari kendaraan dan mencoba membuka pintu pagar. “Ih, Fahmi ini cakep ya!”, kata saya sambil lalu buka pintu rumah untuk masuk bertepatan dengan Fahmi memasuki halaman depan rumah. “Eh, he he”, Fahmi ketawa grogi sambil masuk. ”Tunggu di luar katanya!”, perintah saya dari balik pintu yang sedikit menganga. “Eh, iya, Bu” “Katanya Fahmi indo ya?”, tanya saya masih dari balik pintu yang menganga itu juga. “Eh. Bukan, Bu!”, Jawab Fahmi sambil sedikit membungkuk dengan kedua tangannya bersilang di atas perutnya. “Yaaaah, bukan”, kata saya lagi sambil menutup pintu dan membuka mukena, lalu menemui si mang Iya di ruang tengah. “Mang Iya. Ada tamu!” “Siapa?” “Enggak tahu, pengen ketemu mang Iya katanya” “Siapa, ya?”, tanya mang Iya sambil lalu berdiri untuk pergi menemui “tamu”nya. Mang Iya sudah sedang bersama Fahmi ketika saya duduk main Monopoli mengganti posisi Mang Iya. Tidak lama kemudian Mang Iya datang lagi: “Nanyain, Bang pidi”, Kata Mang Iya. “Oh? Suruh masuk aja, Mang Iya!”, perintah saya, menyebabkan Mang Iya pergi lagi menemui Fahmi dan kemudian masuk bersama Fahmi. “Sini, Mi!!”, panggil saya. “Itu, di sana, Mas!”, Mang Iya memberitahu di mana saya ada. Fahmi datang menemui saya. “Main monopoli dulu, Mi!”, ajak saya. “Oh iya, silakan. Saya di situ aja, Bang!”, pinta Fahmi menunjuk ke ruang tamu. “Iya, iya. Bentar ya, kagok nih”, jawab saya. Tapi beberapa menit kemudian saya datang menemui Fahmi dan duduk dengannya di sana. Saya menjelaskan bahwa ini benar rumah kawan saya, karena Rosi selain dia istri saya, dia adalah kawan saya juga, karena Timur dan Bebe selain dia anak saya, mereka adalah kawan saya juga. Kami semua saling berkawan, Fahmi, maka jika kau tanya adakah saya punya kawan sejati, saya jawab ada, yaitu mereka. Kami saling cinta bahkan di saat mana kami saling berbeda pendapat, saling berbeda pandangan, saling berbeda keinginan. Sehingga tidak ada saling menyalahkan dan sehingga tidak ada batu, dan sehingga tidak ada teriakan menyebut nama tuhan untuk justeru menghancurkan, seolah-olah mereka lupa bahwa nama tuhan yang mereka teriakan adalah tuhan yang justeru berfirman: janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. “Iya”. (Atas izin Fahmi, maka saya tulis cerita ini) Bandung, 16 Juli 2008
Last edited by ditta on Thu Sep 25, 2008 12:17 pm; edited 1 time in total (Reason for editing : warna ga kliatan) | |
|