Forum SMA 3 Bogor
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Forum SMA 3 Bogor

Forum Silaturahim barudax SMA 3 Bogor
 
HomeGallerySearchLatest imagesRegisterLog in

 

 Chapter 01 Drunken mama

Go down 
AuthorMessage
ditta
Prajurit
Prajurit
ditta


Female
Number of posts : 26
Age : 38
Lokasi : bogor-jakarta
Job/hobbies : books
Registration date : 2008-09-25

Chapter 01 Drunken mama Empty
PostSubject: Chapter 01 Drunken mama   Chapter 01 Drunken mama EmptyThu Sep 25, 2008 12:16 pm

Selamat menikmati

Alamat Kawan

Fahmi itu bukan orang Bandung. Hari itu dia datang ke Bandung untuk bertemu dengan saya.Kalau ada orang yang bernama Fahmi tetapi dia orang Bandung, berarti jelas dia bukan Fahmi yang saya maksud. Kalau ada orang yang bernama Fahmi dan dia bukan orang Bandung? Belum tentu juga dia adalah Fahmi yang saya maksud. Karena Fahmi yang saya maksud selain dia bukan orang Bandung, dia adalah kawan lama saya. Kalau ada orang bernama Fahmi dan bukan orang Bandung
dan dia adalah kawanmu? Belum tentu juga dia adalah Fahmi yang sedang
saya ceritakan, karena bisa saja itu Fahmi yang lain, sedangkan Fahmi
yang sedang saya ceritakan adalah Fahmi yang bukan orang Bandung, kawan
saya dan yang saya ajak ke rumah siang itu. Kalau ada orang yang
bernama Fahmi, bukan orang Bandung, kawan kamu dan sore itu dia kamu ajak main ke rumahmu? Iya, benar itu. Itu Fahmi yang saya maksud. Kok kamu tahu sih?

Kalau ada orang yang bernama Fahmi, bukan orang Bandung,
kawan saya dan sore itu saya ajak ke rumah saya, salam ya, karena itu
adalah Fahmi yang sama sekali belum pernah singgah main ke rumah saya
sebelumnya. Jadi ketika saya bawa Fahmi masuk ke komplek perumahan yang
bukan komplek perumahaan saya, dia menyangka bahwa itu adalah komplek
perumahan di mana saya beralamat. Padahal itu komplek perumahaan lain,
letaknya beberapa kilometer dari komplek perumahaan tempat asli saya
tinggal. Tentu saja saya tahu, tapi Fahmi pasti tidak. Saya berhenti di
depan sebuah rumah dan menyuruh Fahmi turun untuk membuka pintu
gerbang. Itulah saat di mana saya berharap di dalam rumah itu tidak ada
anjing penjaganya. Fahmi turun dengan sangat percaya diri dan berusaha
membuka slot pintu pagar itu. Saya lihat Fahmi mau mendorong itu pintu
pagar ke arah dalam.
“Fahmi!!! Naik lagi!!”, saya teriak dengan suara hanya supaya Fahmi saja yang dengar. Fahmi balik kembali ke kendaraan.
“Kenapa?”
“Naik lagi. Udah!! Itu bukan rumah saya”.
“Ah. Kacau!!!” maki Fahmi yang lalu sudah lagi ada di dalam kendaraan. Ada sebentar tadi saya melihat seseorang keluar dari rumah itu. Seorang ibu yang sudah tua.

Saya
keluar dari komplek itu dengan Fahmi yang ketawa seraya memaki saya.
Fahmi bilang untung tidak diteriaki rampok. Iya, Fahmi. Tapi enggak
apa-apa, saya kenal semua pemuda di sana. Itu komplek tempat dulu saya main. Lagi rumah tadi itu adalah rumah bekas guru SMA saya.

Akhirnya
saya dan Fahmi masuk ke komplek perumahan yang itu adalah beneran
komplek perumahan tempat saya tinggal. Dan, berhenti di sebuah rumah
yang indah. Tentu saja saya tahu itu rumah saya, tapi Fahmi pasti tidak.
“Tunggu,
Mi. Bentar saya ada perlu dulu ke teman”, kata saya sambil turun dan
masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah sedang ada si Odah, pembantu saya.
Ada Timur yang menyambut saya dengan “asik ayah pulang”. Bebe sedang
tidur siang katanya. Ada si Uci, keponakan saya, ada mang
Iya juga, saudara saya yang sedang menemani Timur dan Uci main
Monopoli. Saya pergi ke dapur untuk mengambil piring dan menyimpan nasi
di atasnya.
“Odah, sini!”,sambil menuangkan air di gelas saya panggil Odah yang lagi baca buku apa di bawah tangga.
“Apa, Yah?”
“Ini kasihin ke orang itu ya”
“Siapa, Yah?”
“Kawan si Ayah. Udah kasihin aja”
“Di luar?”
“Iya” jawab saya.
“Ini nasi doang?”
“Enggak apa-apa”, jawab saya. Si Odah lalu pergi mau ke sana.
“Dah,
Dah, bentar..!!!”, saya panggil lagi dia menyebabkan dia kembali dan
ingin tahu hal apakah yang menyebabkan saya memanggil dia lagi.
“Jangan bilang ini rumah si Ayah! Kalau tanya si ayah, bilang ada, lagi ngobrol!”
“Iya”. Si Odah pergi ke sana
ke tempat Fahmi yang sedang menunggu saya di kendaraan. Saya mengintip
dari balik jendela. Timur kalau sedang asyik begitu biasanya cuek
dengan gerak-gerik ayahnya ini. Dengan mengintip dari balik jendela
rumah, saya bisa melihat si Odah memberikan sepiring nasi dan segelas
air minum. Saya lihat Fahmi kaget mendapati itu dan menolaknya, karena
memang tadi sudah makan sama saya di Dago sebelum semua ini terjadi. Si
Odah kembali masuk dengan membawa sepiring nasi dan segalas air minum
itu.
“Enggak katanya, Yah!”
“Ya udah simpen aja”,
“Nanyain, Ayah!”
“Iya”
kata saya sambil pergi ke ruang mushola untuk ambil mukena dan
mengenakannya di ruang tamu karena berharap Timur tidak tahu, dan lekas
keluar rumah dengan menutup mulut saya oleh bagian sisi dari kain
mukena itu. Dan berdiri di sisi pagar sebelah taman, itu agak
berhadapan dengan kendaraan yang menyimpan Fahmi di dalamnya.
“Fahmi yaaaa?”, tanya saya dengan berusaha bisa bersuara wanita meskipun agak susah.
“Eh. Iya, Bu?”, Fahmi kaget ditanya ibu-ibu yang aneh bisa mengenalnya.
“Masuk aja?”
“Iya. Iya. Makasih”
“Itu kata Buya Pidi masuk katanya”
“Oh. Iya”, Fahmi turun dari kendaraan dan mencoba membuka pintu pagar.
“Ih,
Fahmi ini cakep ya!”, kata saya sambil lalu buka pintu rumah untuk
masuk bertepatan dengan Fahmi memasuki halaman depan rumah.
“Eh, he he”, Fahmi ketawa grogi sambil masuk.
”Tunggu di luar katanya!”, perintah saya dari balik pintu yang sedikit menganga.
“Eh, iya, Bu”
“Katanya Fahmi indo ya?”, tanya saya masih dari balik pintu yang menganga itu juga.
“Eh. Bukan, Bu!”, Jawab Fahmi sambil sedikit membungkuk dengan kedua tangannya bersilang di atas perutnya.
“Yaaaah, bukan”, kata saya lagi sambil menutup pintu dan membuka mukena, lalu menemui si mang Iya di ruang tengah.
“Mang Iya. Ada tamu!”
“Siapa?”
“Enggak tahu, pengen ketemu mang Iya katanya”
“Siapa,
ya?”, tanya mang Iya sambil lalu berdiri untuk pergi menemui “tamu”nya.
Mang Iya sudah sedang bersama Fahmi ketika saya duduk main Monopoli
mengganti posisi Mang Iya. Tidak lama kemudian Mang Iya datang lagi:
“Nanyain, Bang pidi”, Kata Mang Iya.
“Oh? Suruh masuk aja, Mang Iya!”, perintah saya, menyebabkan Mang Iya pergi lagi menemui Fahmi dan kemudian masuk bersama Fahmi.
“Sini, Mi!!”, panggil saya.
“Itu, di sana, Mas!”, Mang Iya memberitahu di mana saya ada. Fahmi datang menemui saya.
“Main monopoli dulu, Mi!”, ajak saya.
“Oh iya, silakan. Saya di situ aja, Bang!”, pinta Fahmi menunjuk ke ruang tamu.
“Iya, iya. Bentar ya, kagok nih”, jawab saya. Tapi beberapa menit kemudian saya datang menemui Fahmi dan duduk dengannya di sana.
Saya menjelaskan bahwa ini benar rumah kawan saya, karena Rosi selain
dia istri saya, dia adalah kawan saya juga, karena Timur dan Bebe
selain dia anak saya, mereka adalah kawan saya juga. Kami semua saling
berkawan, Fahmi, maka jika kau tanya adakah saya punya kawan sejati,
saya jawab ada, yaitu mereka. Kami saling cinta bahkan di saat mana
kami saling berbeda pendapat, saling berbeda pandangan, saling berbeda
keinginan. Sehingga tidak ada saling menyalahkan dan sehingga tidak ada
batu, dan sehingga tidak ada teriakan menyebut nama tuhan untuk justeru
menghancurkan, seolah-olah mereka lupa bahwa nama tuhan yang mereka
teriakan adalah tuhan yang justeru berfirman: janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi.
“Iya”.

(Atas izin Fahmi, maka saya tulis cerita ini) Bandung, 16 Juli 2008




Last edited by ditta on Thu Sep 25, 2008 12:17 pm; edited 1 time in total (Reason for editing : warna ga kliatan)
Back to top Go down
http://www.quoide9.multiply.com
 
Chapter 01 Drunken mama
Back to top 
Page 1 of 1
 Similar topics
-
» Chapter 02 Drunken Mama
» Syair Mama Abdullah bin Nuh

Permissions in this forum:You cannot reply to topics in this forum
Forum SMA 3 Bogor :: Hobi :: Buku & Sastra-
Jump to: